“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Schedule
board penuh. HP banyak kontak narasumber. Di lantai berceceran TOR buat
liputan. Kamera di kasur. Recorder di atas tas.
Laptop standby di sisi kiri kasur. Modem nyolok terus. Ketiduran dan
internet masih on. 1 GB cuma buat sehari.
Mata hitam
berkantung. Sarapan dibablasin ke makan siang.
Tempat
cucian menggunung. Balik pintu baju kotor menggantung. Sepatu kotor bikin males
pake. Koran ga ditilep rapi. Kadang cuma beli aja, “ga sempet” baca.
Udah
semester empat aja nih. Tahun lalu dioje, sekarang ngoje. Mantep sih, “plus
plus”.
Rasanya kesel
juga ketika sadar susunan kata hasil getting
ga sesuai ekspektasi. Kok gini ya? Anti klimaks. Ga greget.
Capek juga
ya liputan mulu tapi “masih gini-gini aja”. Ngapain deh harus dateng ke
pengadilan segala? Ngapain deh harus becek-becekan di pasar?
Tapi
semuanya lenyap. Ketika (mungkin) sudah tau “posisi” yang nyaman.
Di mana
bisa jalan-jalan, bisa melihat seni yang masuk ke hati. Semuanya ga melulu soal
“hasil” tapi “memproses”. Ga melulu soal “menyaksikan” tapi “menyimak”. Ga
melulu soal “terjawabnya pertanyaan saat wawancara” tapi “mendengarkan dan
memahami”.
Ada satu
tempat, yang punya magnet tersendiri. Mungkin menyerupai laboratorium yang
kuiingankan dulu. Mungkin ada senyum yang air mukanya membuat nyaman. Mungkin
semua rubrik dapat digarap di sana. Sebuah kampung kreatif di dalam gang
berukuran 3 meter seberang Hotel Sheraton, Bandung.
Mural.
Patung. Poster. Seni 3D. Tari. Musik. Lukisan.
Teringat
piala pertama saat TK, lomba mewarnai. Sertifikat-sertifikat lukis dan graffiti
saat SMA. Tak banyak memang. Tak ahli memang.
Tiba-tiba
rindu suasana rumah dengan meja penuh kertas
gambar, car air, crayon, koas berbagai ukuran, palet, dan “jajarannya”.
Sesuatu
yang dibuat dengan hati. Memainkan waktu yang berkualitas. Pasrah dengan tangan
yang mengayun memegang batang kayu berujung bulu halus.
Namun,
semuanya berubah. Pikiran semraut. Kertas yang berceceran. Dering pesan,
telpon, chat, hanya membuat waktu 24 jam seperti 24 menit.
Tapi
bukankah itu bidang yang dicita-citakan sejak sekolah dasar? Saat Pak Tambun
bertanya mengenai cita-cita. Mengenai studi kasus dengan perumpamaan ketika
sedang meliput di daerah perang. Jurnalistik.
Kenapa
tidak mencoba untuk mengelaborasikan keduanya? Jurnalistik dan seni. Semoga
bisa lebih “menikmati”.
Terima
kasih atas skenario yang indah. Skenario yang tak akan terpikirkan oleh
manusia. Skenario yang sudah ada, di Lauhul Mahfuzh.
Jalani,
resapi, nikmati…
Kosan Putri, 11 Mei 2015
08.04 WIB