Senin, 11 Mei 2015

Surat Keempat Belas


“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)


Schedule board penuh. HP banyak kontak narasumber. Di lantai berceceran TOR buat liputan. Kamera di kasur. Recorder di atas tas.  Laptop standby di sisi kiri kasur. Modem nyolok terus. Ketiduran dan internet masih on. 1 GB cuma buat sehari.


Mata hitam berkantung. Sarapan dibablasin ke makan siang.

Tempat cucian menggunung. Balik pintu baju kotor menggantung. Sepatu kotor bikin males pake. Koran ga ditilep rapi. Kadang cuma beli aja, “ga sempet” baca.

Udah semester empat aja nih. Tahun lalu dioje, sekarang ngoje. Mantep sih, “plus plus”.

Rasanya kesel juga ketika sadar susunan kata hasil getting ga sesuai ekspektasi. Kok gini ya? Anti klimaks. Ga greget.

Capek juga ya liputan mulu tapi “masih gini-gini aja”. Ngapain deh harus dateng ke pengadilan segala? Ngapain deh harus becek-becekan di pasar?

Tapi semuanya lenyap. Ketika (mungkin) sudah tau “posisi” yang nyaman.

Di mana bisa jalan-jalan, bisa melihat seni yang masuk ke hati. Semuanya ga melulu soal “hasil” tapi “memproses”. Ga melulu soal “menyaksikan” tapi “menyimak”. Ga melulu soal “terjawabnya pertanyaan saat wawancara” tapi “mendengarkan dan memahami”.

Ada satu tempat, yang punya magnet tersendiri. Mungkin menyerupai laboratorium yang kuiingankan dulu. Mungkin ada senyum yang air mukanya membuat nyaman. Mungkin semua rubrik dapat digarap di sana. Sebuah kampung kreatif di dalam gang berukuran 3 meter seberang Hotel Sheraton, Bandung.

Mural. Patung. Poster. Seni 3D. Tari. Musik. Lukisan.

Teringat piala pertama saat TK, lomba mewarnai. Sertifikat-sertifikat lukis dan graffiti saat SMA. Tak banyak memang. Tak ahli memang.

Tiba-tiba rindu suasana rumah dengan meja penuh kertas  gambar, car air, crayon, koas berbagai ukuran, palet, dan “jajarannya”.

Sesuatu yang dibuat dengan hati. Memainkan waktu yang berkualitas. Pasrah dengan tangan yang mengayun memegang batang kayu berujung bulu halus.



Namun, semuanya berubah. Pikiran semraut. Kertas yang berceceran. Dering pesan, telpon, chat, hanya membuat waktu 24 jam seperti 24 menit.

Tapi bukankah itu bidang yang dicita-citakan sejak sekolah dasar? Saat Pak Tambun bertanya mengenai cita-cita. Mengenai studi kasus dengan perumpamaan ketika sedang meliput di daerah perang. Jurnalistik.

Kenapa tidak mencoba untuk mengelaborasikan keduanya? Jurnalistik dan seni. Semoga bisa lebih “menikmati”.

Terima kasih atas skenario yang indah. Skenario yang tak akan terpikirkan oleh manusia. Skenario yang sudah ada, di Lauhul Mahfuzh.

Jalani, resapi, nikmati…















Kosan Putri, 11 Mei 2015
08.04 WIB



Jumat, 01 Mei 2015

Selagi "Mabuk"



Jangan biarkan batang itu
Jangan hisap
Jangan

Rangkulan mana?
Rangkulan yang mana?

cerca nista
sudikah?


"gong"
"gong"

"dok"
"dok"

"duk"
"duk"

"tuk"
"tuk"

samara
belum mekar belum



"Yes, pergi," katanya.
segenap pergi

"wah, dia jauh," ujar dia.
yang lain dengan sistemnya

jangan ganggu
dia mabuk berahi
dulu juga mencacat

selagi saja
haha!!!






Jatinangor, 30 April 2015
00.38 WIB