Wahai saudara rantauku,
Tak pernah terpikirkan oleh ku akan dihadapkan
dengan pilihan seperti ini. Ikuti hawa nafsu atau mengembangkan semangat yang
di ujuk tanduk.
Mari kita flashback..
Siang itu, bersama teman-teman ku tulis nama
dan urusan di atas kertas pendaftaran Cangok. Aku memilih sendiri, tanpa
paksaan, hanya mengikuti kata hati. Siang itu aku memilih.
Uang saku yang rakyat Indonesia amanahkan
padaku, ku gunakan untuk membeli perlengkapan Hari Pertarungan itu. Outing To.
Syukurku, mempunyai orang tua yang sangat
mendukung kegiatan yang dipilih.
Hingga pada suatu hari, adikku sakit.
Meningitis.
Dokter kurang pintar! Bagaimana mungkin adikku
yang di bawa ke beberapa rumah sakit dan ditangani beberapa dokter mengatakan
bahwa ia hanya demam biasa. Kau dapat dari mana gelar dr. mu itu dok?
Kejang dingin untuk pertama kalinya di rumah
sakit umum daerah yang ada di kotaku membawa tubuh kecil itu ke “ruang
tindakan”. Dan dinyatakan mengidap meningitis atau radang otak. Ia harus segera
di bawa ke ruang ICCU dan dirawat minimal 30 hari.
Kondisi ekonomi keluarga kami memang sedang
menurun, baru beberapa hari Bapak ku di rawat di rumah sakit swasta. Dan aku
memang berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Tak ada kartu-kartu yang dapat
meringankan biaya perawatan, apalagi menggratiskannya.
Dengan keberanian dan tenaga ini, aku pergi ke
tempat registrasi RSUD, aku minta agar adikku segera dipindahkan ke ruangan
ICCU. Aku masih ingin melihat hitam biji lengkeng di bola matanya. Aku masih
ingin bermain dengan anak pintar itu.
Pihak rumah sakit tak bisa memindahkan adikku
ke ruang ICCU sebelum membayar biaya perawatan selama beberapa hari di ruang
anak, sedangkan biaya perawatan di ruang
ICCU itu sendiri Rp 3 juta/hari, belum
termasuk obat.
Sebagai anak pertama, aku membantu Bapak ku
untuk mengurus semua. Aku pergi ke kantor desa untuk membuat BPJS. Namun, itu
hari Minggu. Akhirnya aku pergi ke rumah ketua RT, ketua RW, kepala desa, dan
pihak-pihak terkait yang mungkin bisa meringankan biaya perawatan adikku.
Dengan “harapan” itu, akhirnya adikku dapat
masuk ke ruang ICCU. Sedih rasanya hanya
bisa melihat tubuh kecil itu dari jendela lorong ruang ICU. Perlengkapan ruang
perawatan itensif harus dipakai sempurna ketika ingin bertemu dengan jagoanku.
Tak kuasa ku melihat kabel-kabel yang meilit tubuh adikku, mulai dari hidung
sampai ujung kaki.
Air mata tak kuasa untuk ku tahan. Pamit ku
kepada balita pintar siang itu ternyata untuk selamanya. Ku percayakan ia pada
Allah SWT dan dokter. Syukurku kembali, mempunyai seorang ibu yang sangat
tegar. Ia mampu menularkan semangatnya padaku sekalipun sedang dihadapkan
dengan malaikat kecilnya yang terbaring tak sadarkan diri itu.
Aku pun harus pergi ke Jatinangor, melanjutkan
pilihan itu. Melakukan semua simulasi sebelum pergi ke lapangan.
H-5 OT (malam), hujan mengguyur Jatinangor. Aku
ingat Alif, aku ingin pulang untuk menjenguknya walaupun hanya semenit saja.
Aku ingin melihat wajahnya…
Selasa, 4 Februari 2014, H-4 OT (pagi), usai
shalat subuh, ku kaji lembaran kitab suci umat Islam. Matahari masih enggan
menampakkan sinarnya di kosan Nisa. Ya, semalam aku menginap di kosan Nisa.
Pagi itu, aku buka socmed biru. Masuklah pesan
berisi berita duka dari sahabatku saat sekolah dasar. Butiran air bening itu
pecah di luar bola mataku. Jari ini menari dengan lincahnya di atas keyword
Nokia X-2. Mom, send.
Mom Calling…
Tak kuasa menahan tangis, cepat-cepat ku buka
balutan kain ibadah yang sejak subuh ku kenakan. Dalam isak, ku siap-siap untuk
pergi ke Sukabumi, pagi itu juga. Nisa sengaja tak ku bangunkan. Hingga
akhirnya ia terbangun sendiri karena suaraku isakku.
Tak ku hiraukan isak yang menemaniku ke pangdam
depan kampus. Sepanjang jalan air bening itu mengalir, tak ku pedulikan
penumpang lain. Memori ini memproses ingatan ke beberapa hari yang lalu,
beberapa minggu yang lalu, beberapa bulan yang lalu, dua tahun yang lalu.
Kemacetan Padalarang memang selalu tak
bersahabat. Sekitar pukul 09.00 WIB mama
menelepon. Ia mengabarkan bahwa jenazah adikku sebaiknya dimakamkan
segera. Tak baik berlama-lama didiamkan di rumah. Baiklah.
Sekitar pukul 11.00 WIB aku tiba di rumah.
Sahabatku, Rani, menjemput di terminal. Bendera kuning itu berkibar di depan
gang rumah. Isak ini tak kuasa untuk ku tahan lagi.
Selamat tinggal Muhammad Nadliffansyah Putra….
Harapan orang tuaku terhadap kesuksesan Alif
terbagi dua. Massa di pundak ini bertambah, . tanggung jawab, ku leburkan
dengan semangat.
Album Foto MNP