Selasa, 30 April 2013

Suka kok malu..? <= Sinopsis

Ini adalah cerita percintaan seseorang kepada pujaan hatinya, yang kebetulan wanita ini adalah wanita yang ia sukai sejak sekolah dasar namun sekian lama tak bertemu membuat rangga lupa akan masa kecilnya, karena orang tua rangga yang dinas di luar kota dan mengharuskan rangga pergi bersama orang tuanya.Yang tertinggal dari masa kecilnya adalah sebuah bros kembar berbentuk bunga mawar keemasan yang dulu sempat rangga kasih pada resti, itupun berkat bantuan dinel, teman dekat resti. Karena rangga yang memiliki sifat pemalu tak mampu memberikan bros itu secara langsung pada resti dan meminta bantuan dinel untuk menyerahkannya.
Namun 7 tahun kemudian mereka dipertemukan kembali saat sedang ospek di salah satu univesitas ternama di Bandung. Memang, pertama kali bertemu mereka selalu bertengkar tanpa henti karena masalah yang sepele, suatu ketika mereka di satukan sebagai pasangan dalam sebuah teater yang membuat mereka bekerjasama dalam satu aksi, namun diluar itu jika mereka bertemu selalu mengejek satu sama lain karena rangga tak mengetahui kalau resti adalah wanita yang ia sukai dulu.
Pada akhirnya bros yang selalu resti gunakan setiap saat kemanapun ia pergi, hilang dalam acara api unggun. Dinel sahabatnya di tuduh telah mengambilnya dan memulai pertengkaran diantara mereka, rangga yang mengetahui hal itu simpati untuk menghibur resti yang sedang sedih dan membuat terungkap sudah kalau resti adalah pujaan hatinya rangga, membuat rangga senang telah menemukan wanita yang ia cintai selama ini.


Penulis, Rangga Aria Nugraha

Senin, 29 April 2013

Lorong Merah


Lorong biru, fase awal goresan takdir | Dengan canda tawa | Senyum khas | Dan tunduk matamu.
***

Namun semuanya telah hilang | Bukan ditelan hitam | Melainkan merah, lorong merah | Ya, merah alat eksresi | Yang menghasilkan empedu | Pahit.

Semuanya menjadi padat | Dengan partikel yang tak fleksibel | Padahal aku selalu berharap | Kau adalah air |    Cair | Walau itu mustahil | Bersuhu 0oC kah aku? | Sehingga kau tak mampu menyerap panas ini | Lebih tepatnya, hangat | Hangat cinta.

Dan kau beralih | Pada melati |  Karena aku mawar?

Aku pun meranggas | Hampa | Kau hilang, tersesat | Menuju lorong merah | Menghampiri putih melati | Padahal di sini aku mawar, merah.

Ku coba dengan ladang lain | Namun raga ini tak cukup subur untuk bertahan | Aku layu | Dalam ketandusan yang  ku buat | Karena aku endemik.

Bukan takdir yang membuatku endemik | Tapi akarku yang terlalu manja.

Ku tak tahu sampai kapan | Sampai kapan merasa sunyi | Adakah perpisahan yang dapat menghilangkannya | Atau sekadar mengubahnya | Adakah?

Lorong pertemuan itu sudah mencapai ambang | Dan tak mungkin kembali | Walau ada black hole | Karena
merah itu sebuah lorong.

Mustahil | Kecuali takdir mereaksikan berbeda.

Semoga empedu itu menjadi glukosa |  Walau dalam lorong merah | Bukan reaksi gelap | Bukan pula reaksi terang | Yang bisa buatku bernafas lega.

22 Mei 2013 | Semoga menjadi detoksifikasi | Karena ku rindu lorong biru | Dalam 50oC.







Cisaat, 24 April 2013
09.37 pm
select: 69