Jumat, 27 November 2015

Mengalahkan “Ular Berbisa” di Bojongkokosan

karya Resti Octaviani



“TEMBAAAAAAAAAK!”
DOR! DOR! DOR! 
Minggu sore, sekitar pukul 15.00 WIB, dalam suasana Ramadhan, 9 Desember 1945. Masyarakat siap sedia melawan sekutu yang melewati Jalan Bojongkokosan, Sukabumi, Jawa Barat. Pemuda yang belum genap 20 tahun itu membawa lima senjata hasil rampasan dari Jepang. Ia luncurkan peluru ke arah sekutu. Namanya Satibi. Seorang prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
 “Ini bukan perang, kami hanya mencegat sekutu,” kata Satibi. “Tentara sekutu ini terdiri dari Gurkha. Tentara bayaran asal Nepal, Bombay, Australia, dan negara lainnya. Jadi bukan hanya tentara Inggris,” papar prajurit TKR tersebut.
Dari informasi yang didapat, akan ada 20 truk sekutu yang akan melewati kawasan Bojongkokosan. Namun, nyatanya ratusan kendaraan perang yang datang. Konvoi yang melibatkan tentara bayaran tersebut memanjang hingga 12 kilometer di antara tebing-tebing celah pegunungan.
Didahului oleh pengawalan tank sherman, panser wagon, brencarrier dan iring-iringan 150 buah truk pengangkut perbekalan APWI, konvoi sekutu meliuk-liuk menelusuri celah-celah tebing, menuju Bandung lewat Bogor-Sukabumi-Cianjur.
Kendaraan pendahulu berhenti dihadang perintang jalan. Mereka terjebak lubang dan bambu yang disiapkan pejuang  di jalan yang diapit oleh dua tebing di Bojongkokosan. Di atas perbukitan dipenuhi TKR dan rakyat yang menempati lubang-lubang persembunyian. Dari sanalah mereka menyerang, menguasai tebing, menghujani dengan bom molotov  ke arah kendaraan konvoi.
Serangan  yang terjadi disusun oleh TKR dan Letnan Kolonel Eddie Soekardi. Pertempuran heroik itu  melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Tua, muda, laki-laki, perempuan. Organisasi masyarakat seperti Pesindo, Hizbullah, Barisan Banteng, Angkatan Pemuda Indonesia (API),  semua menyerang sekutu.
Seorang ibu membawa alu, siap menghadang sekutu. Ketapel dijampe Kiai, bambu yang diruncingkan, bensin dibakar, lalu dilemparkan ke arah sekutu. Taktik yang digunakan adalah hit and run. Namun, tak semua masyarakat memahami taktik perang. Ada yang berlari lurus menghindar serangan sekutu. Ada pula yang bersembunyi dengan posisi menungging. Hanya kepalanya saja yang bersembunyi. Akhirnya , 28 pejuang gugur.
Satibi membawa mayat-mayat pejuang Indonesia ke Taman Pahlawan di Jalan Baros Kota Sukabumi. Di sana, mayat-mayat dimakamkan secara massal. Tanpa disholatkan, tanpa dimandikan. Hanya dibungkus daun pisang.
Perlengkapan senjata yang digunakan sekutu lengkap dan canggih. Komandan Resimen TKR Sukabumi Letnan Kolonel Eddie Soekardi menyebutnya “ular berbisa”.  Kepala ular tersebut adalah tank sherman, tengkuknya: panser wagon, badan sampai ekornya: truk-truk, dan diperkuat oleh ruas-ruas tulangnya: brencarrier.
Komandan Batalion, Jats, cedera berat dalam serangan pertama. Sebuah kendaraan hancur lebur, kendaraan lainnya banyak yang rusak berat. Terutama sopir-sopir, berjatuhan dari atas truk, tewas tertembak secara mengerikan.
Kabut tebal mengaburkan penglihatan ketika sekutu memuntahkan bom. Peluru dan persenjataan yang dugunakan masyarakat Bojongkokosan habis.
 “Alhamdulillah, atas pertolongan Allah, hujan lebat dan angin puting beliung datang.  Menyelamatkan pihak republik untuk mundur. Kita jadi bisa kabur saat sekutu menyerang,” ucap veteran Sukabumi yang kini berusia 89 tahun itu.
Berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, hujan, kabut, dan angin tersebut membuat bumerang bagi sekutu. Tercatat, 50 tentara sekutu tewas, 100 terluka dan 30 lainnya hilang saat pertempuran di Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
Akibat sekutu merasa terkalahkan, esok harinya Pasar Cibadak dibombardir oleh Royal Air Force (RAF). Perang udara terbesar di Jawa pun terjadi. The greatest air attack. Luapan emosi Inggris karena gengsi sebagai pemenang dalam Perang Dunia II.
Pertempuran tersebut menggugurkan 45 pejuang dan rakyat Sukabumi. Peristiwa Bojongkokosan kemudian menjadi pemicu awal dalam peristiwa yang dikenal dengan Perang Konvoi dan merupakan Perang Konvoi Pertama (The First Convoy Battle) tanggal 9 hingga 12 Desember 1945. Sedangkan Perang Konvoi Kedua terjadi pada tanggal 10 hingga 14 Maret 1946. Pencegatan konvoi di Bojongkokosan itu juga diyakini sebagai peristiwa pembuka Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946.
Satibi berhasil selamat karena pengalaman perangnya. Ia merupakan prajurit perang yang cukup ‘terpakai’ oleh Eddie Soekardi.
Ia mantan tentara PETA ketika pemerintahan Jepang. PETA diubah karena Jepang kalah pada Perang Dunia II, diganti menjadi TKR. Sebenarnya Satibi tak ingin berkecimpung lagi di dunia kemiliteran. Ia seorang masyarakat biasa, tetapi akibat adanya revolusi kemerdekaan, mantan tentara PETA dan Kenir ditarik lagi oleh Soedirman. Untuk menghadang beberapa peperangan yang terjadi setelah kemerdekaan.
Dulu, rumah Satibi di pinggir Jalan Bojongkokosan. Namun,  karena sering digunakan tempat persembunyian saat pertempuran, rumahnya hancur. Kini ia tinggal di sebuah rumah belakang museum Bojongkokosan. Rumah itu dihuni oleh dua kepala keluarga; Satibi, dan anaknya yang paling bungsu, Wawan Suwandi.
Rumah itu berukuran sekitar 6x4 meter. Terasnya beralaskan tanah. Ada kursi dengan kondisi dudukan berlubang dan meja yang akan menyambut tamu datang, masih di teras. Di dalam rumah, ruang utama dan ruang keluarga hanya beralaskan karpet. Bukan karpet permadani yang empuk dan tebal, tetapi karpet berbahan karet yang tipis.
Satibi sempat menjadi pengelola museum Bojongkokosan. Namun ia mengundurkan diri dari pengelolaan karena sudah mulai menua dan tidak menerima gaji dari pemerintah daerah pada beberapa tahun ke belakang . Pengelolaan museum pun diteruskan oleh anaknya, Wawan Suwandi, dengan gaji Rp 250.000/bulan.
“Saya mengolala museum Bojongkokosan karena ini adalah amanat besar. Amanah dari Bapak untuk meneruskan ikut mengelola Bojongkokosan walaupun dengan gaji seperti itu. Sekarang, saya dipercaya oleh Pemda (Pemerintah Daerah) untuk mengelola beberapa fasilitas di Bojongkokosan dan mendapatkan gaji 600 ribu perbulan,” kata Wawan.
“Apa sih saya, hanya anak seorang prajurit beda sama anak seorang Letkol atau Jenderal, jadi kita mesti banyak kerja keras,” tambah anak veteran tersebut.
Tahun 2013, Kodam Siliwangi yang bekerja sama dengan PT Reindo menjanjikan akan merenovasi rumah Satibi. Namun, hingga kini, teras rumahnya masih beralaskan tanah, dindingnya berbilik bambu.
Wawan berusaha mencari informasi mengenai janji Kodam Siliwangi dan PT Reindo yang akan merenovasi rumah Satibi. Hasilnya nihil. PT Reindo pun tak ditemukan di mana alamat lengkapnya, tak jelas jenis perusahaan apa.
“Itu perusahaan fiktif,” kata Wawan.



Foto bersama Pak Satibi. (15/05)

Kondisi rumah Pak Satibi di Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. (15/05)



Sumber tulisan:
Wawancara langsung narasumber pada tanggal 15 Mei 2015 dan 17 Juni 2015
-          - Satibi
-         -  Wawan Suwandi

Iskandar, Yoseph dkk. 1997. Pertempuran Konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946. Jakarta: Sukardi LTD






***Bapak Satibi meninggal dunia pada Kamis, 26 November 2015. Sebelumnya dirawat di RS. Sekarwangi Kab.Sukabumi karena komplikasi.