Senin, 07 Desember 2015

Kartiniku


Karya Resti Octaviani

            Lembar demi lembar dari sebuah buku yang berkisah tentang seorang entertainment muda yang sangat menginspirasi bagi semua muslimah sudah menunjukkan halaman 178. Namun dalam setiap paragraf yang kubaca terselip sepi tak terkira.
            ‘Begitu sepinya hidup tanpa sebuah persahabatan yang abadi, semua teman-temanku yang dulu selalu berkumpul untuk berbagi suka duka dan sharing tentang hal apa pun  kini berubah, persahabatan ini menjadi sebuah perkumpulan dari para akhwat yang berpasangan. Walaupun pasangan yang dimaksud adalah antara dua akhwat yang bersahabat dengan sangat. Miris,’ ucapku dalam hati.
            Kubaca paragraf selanjutnya. Dan kembali berfikir, ‘mungkin aku terlalu egois sehingga tak mampu mempertahankan persahabatan seperti mereka. Walau memang pada dasarnya aku lebih menyukai persahabatan yang murni. Tak ada seka untuk membatasi dengan teman-teman lainnya.’
            “Assalamua’laikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Pengumuman kepada seluruh siswa siswi SMA Harapan Negara wajib mengirimkan satu sampai dua siswi putri sebagai perwakilan kelas untuk memperingati hari Kartini. Dan berkumpul di aula sepulang sekolah. Terima kasih,” suara pengumuman dari fackajing yang dipasang di seluruh kelas membuyarkan lamunanku.
            Teman-temanku pun mengajukan aku dan Dewi untuk mewakili kelas XI IPA 7. Awalnya aku menolak karena kegiatan ini sangat mendadak. Aku pun tak tahu apa yang harus kulakukan nanti. Namun, semuanya aku serahkan kepada Sang Mahasutradara.
            Setelah shalat dzuhur, aku menerima SMS dari Dewi,

            ‘Afwan ukh, ana gak bisa kumpul ke aula. Soalnya harus latihan nasyid. Afwan ya…’

            Karena sedang tidak ada pulsa, jadi SMS Dewi tidak ku balas. Hampa langkahku terkalahkan dengan amanah yang telah diberikan teman-teman sekelas. Sehingga mengantarkan kaki ini sampai ke aula.
            “Assalamu’alaikum,”ucapku ketika bergabung dengan teman-teman lainnya.
            “Wa’alikumsalam, “ jawab mereka.
            Aku pun duduk di kursi yang paling depan. Di sana ada temanku yang sudah kuanggap menjadi kakak sendiri, dialah Tami. Nampaknya ia sedang asyik mengobrol dengan ketua KIR. Hanya sapaan ‘hai’ yang keluar dari mulut kami.
            Dunia terasa semakin sepi Ya Allah. Kembali ku buka buku yang sedari tadi ku baca.
‘Hanya buku yang menjadi sahabatku, dan  Engkaulah sahabat setiaku Ya Allah.’
Beberapa menit kemudian datanglah dua orang wakasek kesiswaan. Dan beliau berdua menyampaikan maksud mengumpulkan kita semua di aula ini. Lomba Pidato. Ya, lomba pidato mengenai hari Kartini, karena sekarang tanggal 21 April.
‘Ya ampun, apa yang harus aku sampaikan? Aku lupa dengan sejarah hari Kartini,’ batinku.
Namun, untungnya aku masih bisa berdiskusi terlebih dahulu dengan adik kelas ku. Sehingga ada sedikit gambaran.
“Peserta ke 7, silahkan,” panggil salah seorang kesiswaan sekaligus juri dari perlombaan ini.
‘Bismillahirramannirrahim,’ ucapku dalam hati. Kubawa buku yang tadi kubaca ke depan aula untuk ikut serta tampil di depan juri dan teman-teman dari setiap perwakilan kelas.
            Kata demi kata mengalir begitu saja dari mulutku, ‘walau sesekali pasti tampak kelihatan berfikir. Hehe…’
            Tokoh dalam buku yang berkisah tentang seorang entertainment muda yang sangat menginspirasi bagi semua muslimah pun ku jadikan contoh sebagai RA Kartini di tahun 2012, selain kepala sekolah dan ketua ekstrakurikuler di SMA Harapan Negara yang merupakan dari kaum hawa juga.
            Seluruh peserta telah tampil. Dan menampilkan kemampuan berpidato dadakan dengan semaksimal mungkin. Walau semua persiapannya serba dadakan.
             Tibalah penutupan dari salah seorang  juri. Beliau menceritakan sejarah hari Kartini dengan sangat memukau. Tak ada seorang pun dari peserta yang memaparkan sejarah hari Kartini serinci beliau.
            “Siapa Kartini 2012?” tanya beliau.
            Semua menggeleng. Mulutku pun membisu. Padahal saat berpidato di depan tadi, aku menyebutkan beberapa orang Kartini 2012. Namun, hatiku mencegah untuk mengucapkannya kembali.     
            Kebisuan pun berubah menjadi kegaduhan dalam diskusi yang terbisikkan. Ya, semua saling berbisik, sehingga menimbukan was wes wos yang memenuhi aula.
            “Kartini kita adalah Ibu kita masing-masing,” ucap beliau dengan penuh wibawa dan juga keibuan.
            “Ibu kita adalah Kartini yang paling berjasa dalam hidup kita. Seorang pejuang yang rela mentaruhkan nyawanya saat melahirkan kita. Seorang dokter yang sangat ampuh menyembuhkan kekalutan kita. Seorang perawat yang setia menemani kita disaat sakit. Kecintaannya tak akan habis walau ia telah tiada. Namun, sepanjang masa. Ibu kita yang masih ada di dunia ini tak akan lelah melantunkan do’a untuk kesuksesan anaknya. Dan Ibu kita yang telah tiada, akan selalu melatunkan do’a di jannah-Nya.”
            Sungguh, kata-kata beliau telah memanah kalbu ini. Panah yang menjadi pencerahan atas redupnya kalbu yang kadang lupa akan jasa orang-orang terdekat di sekitar kita.
            Aku tak sanggup menahan air mata ini. Ku ambil handphone untuk mencurahkan semuanya.
            Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah. Ya Allah, sungguh menyesal rasanya di hari Kartini ini hamba tak membawa Mama ke dalam pidato tadi. tak bermaksud hati ini untuk melupakan jasa-jasanya. Ya Rabbal Izzat, jangan samarkan nama beliau di balik nama orang-orang yang sama sekali tidak mengenaliku. Amin Ya Rabbal Alamin…

˜SELESAI˜




*tulisan ini dibuat pada bulan Mei 2012, tapi terlalu lama mengendap di draft akhirnya baru diposting.

Dunia Maya “Rasa” Dunia Nyata

Oleh Resti Octaviani

Rabu, 2 Desember 2015, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Aula Bale Padjadjaran 4. Walaupun sudah kuliah lebih dari dua tahun di Kampus Unpad Jatinangor, tapi kali ini pertama kalinya saya memasuki area Bale Padjadjaran yang berada di kawasan Pedca. Lokasinya ada di seberang halaman FISIP. Di sana, terdapat petunjuk arah  bertuliskan “Pedca”. Ada beberapa toko khusus yang menjual merchandise Unpad, bank BRI, food court, dan sebagainya. Namun, jika hendak ke Bale Padjadjaran 4 kita hanya perlu berjalan lurus dari Pedca hingga akhirnya ada belokan ke kanan, di mana area Bale Padjadjaran berada.
                Pagi itu, jarum pendek jam menunjukkan angka 9 dan jarum panjangnya menunjukkan angka 3. Memasuki bale, nampak antrian panjang di meja registrasi Seminar Kebebasan Berpendapat di Media Sosial yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Sejarah, Unpad. Seminar ini merupakan pengganti perkuliahan Jurnalisme Online. Di poster yang tersebar, tertera waktu kegiatan dimulai pada pukul 09.00 WIB – 12.00 WIB. Namun, hingga lebih dari satu jam dari waktu yang tertera, kegiatan belum mulai juga. Hmm lagi-lagi “ngaret”.
                Aula Bale Padjadjaran 4 pun terlihat penuh. Mahasiswa Unpad dari berbagai jurusan datang untuk mengikuti seminar bertema etika ini. Menurut panitia, jumlah peserta yang datang melibihi perkiraan. Akibatnya, banyak peserta tidak kebagian goodie bag-termasuk saya. Nasi box untuk makan siang pun dibagikan kepada peserta yang datang karena panitia kehabisan snack.
                Pembicara pada seminar tersebut ada Nunik Maharani (Staf Pengajar Fikom Unpad), Intan Anggita (Blogger menujutimur.com), dan Adi Marsiela (Ketua Aliansi Jurnalis Independen “AJI” Bandung). Namun, pada kenyataannya, Adi Marsiela tidak diposisikan sebagai pembicara, tapi sebagai moderator. Selain itu, ada pembicara dari pihak sponsor yang tidak tertera pada poster. Dia dari Gressnews, Agustinus Edy Kristianto.
Seminar dibuka oleh dua orang mahasiswi sejarah. Sang moderator, Adi Marsiela, menceritakan beberapa kasus terkait kebebasan berpendapat di media sosial terlebih dahulu. Ada 118 orang yang terjerat hukum karena pelanggaran Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan rentan waktu dari tahun 2008–2015. Sebagian delik aduan berasal dari mereka yang mempunyai kekuasaan atau jabatan, dengan terlapor masyarakat kecil yang tak punya apa-apa dan hanya bisa berkeluh-kesah di media sosial.  
Pembicara pertama yaitu Nunik Maharani. Riuh rendah sorak sorai mahasiswa Jurnalistik yang datang menyambut Mpok Nunik, sapaan bagi dosen jurnalistik berkacamata dengan rambut pendek kurang dari sebahu, ketika akan berbicara dalam seminar tersebut. Menurutnya, internet diciptakan untuk membentuk “ruang”. Apakah disebut ruang diskusi? Entahlah, masih menjadi perdebatan.
Sebagian besar, yang aktif di internet adalah kaum muda urban yang berada di pulau Jawa. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) perlu ada untuk mengatur etika di dunia maya. Mpok berharap dengan adanya  internet, kebebasan berita jangan sampai terbawa arus rezim yang berkuasa saat ini. UU ITE harus melindungi hal netizen untuk bersuara dan demokrasi.
 Pembicara kedua, seorang blogger dengan domain menujutimur.com, Intan Anggita. Ia merupakan wanita kelahiran Ciamis, tumbuh berkembang di Ciamis, mengenyam pendidikan di Ciamis, tapi memiliki blog yang membuka mata kita untuk melihat kekayaan Indonesia bagian Timur, bukan Ciamis.
Bagi Intan sebagai seorang traveller bloger, menulis merupakan tanggung jawab moral setelah melakukan suatu perjalanan. Segala keluh kesah, kritik, dan kekesalan akan infrastruktur atau kebijakan yang ada ketika melakukan perjalanan, ia tumpahkan pada tulisan. Bukan tulisan yang bersifat negatif, tapi tulisan-tulisan yang menceritakan Indonesia bagian Timur apa adanya dengan kenaturalannya.
Di saat menulis, kita harus memikirkan dampaknya. Menulislah dengan dampak positif. Tahan diri jika melihat sesuatu yang tak sesuai dengan harapan, jangan sampai marah atau menceritakan kekesalan di media sosial, karena apa yang ada di media sosial akan menggambarkan kepribadian pemiliknya. Tahan diri dulu, jangan reaktif!
Seminar Kebebasan Berpendapat di Media Sosial, Bale Padjadjaran 4, Kampus Unpad Jatinangor. (02/12)
Pembicara terakhir yaitu Agustinus Edy Kristianto dari pihak Gressnews. Sebenarnya, Agustinus tidak diposisikan sebagai pembicara formal. Ia hanya menambahkan beberapa hal terkait isu yang diangkat pada seminar. Ia juga ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh para peserta.

Dari beberapa pembicara yang ada, saya setuju dengan pendapat Intan Anggita, Adi Marsiela dan Mpok Nunik. Dunia maya saat ini semakin nyata. Aturan dan rambu-rambu yang ada hampir mirip dengan dunia nyata. Sudah menjadi kewajiban kita, sebagai insan berbudi, menjaga segala tingkah laku dan tutur kata, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kini, dunia maya terasa dunia nyata.