Lorong biru, fase awal goresan takdir | Dengan canda tawa | Senyum khas | Dan tunduk matamu.
***
Namun semuanya telah hilang | Bukan ditelan hitam | Melainkan merah, lorong merah | Ya, merah alat eksresi | Yang menghasilkan empedu | Pahit.
Semuanya menjadi padat | Dengan partikel yang tak fleksibel | Padahal aku selalu berharap | Kau adalah air | Cair | Walau itu mustahil | Bersuhu 0oC kah aku? | Sehingga kau tak mampu menyerap panas ini | Lebih tepatnya, hangat | Hangat cinta.
Dan kau beralih | Pada melati | Karena aku mawar?
Aku pun meranggas | Hampa | Kau hilang, tersesat | Menuju lorong merah | Menghampiri putih melati | Padahal di sini aku mawar, merah.
Ku coba dengan ladang lain | Namun raga ini tak cukup subur untuk bertahan | Aku layu | Dalam ketandusan yang ku buat | Karena aku endemik.
Bukan takdir yang membuatku endemik | Tapi akarku yang terlalu manja.
Ku tak tahu sampai kapan | Sampai kapan merasa sunyi | Adakah perpisahan yang dapat menghilangkannya | Atau sekadar mengubahnya | Adakah?
Lorong pertemuan itu sudah mencapai ambang | Dan tak mungkin kembali | Walau ada black hole | Karena
merah itu sebuah lorong.
Mustahil | Kecuali takdir mereaksikan berbeda.
Semoga empedu itu menjadi glukosa | Walau dalam lorong merah | Bukan reaksi gelap | Bukan pula reaksi terang | Yang bisa buatku bernafas lega.
22 Mei 2013 | Semoga menjadi detoksifikasi | Karena ku rindu lorong biru | Dalam 50oC.
Cisaat, 24 April 2013
09.37 pm
select: 69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar