Minggu, 03 Mei 2020

hi, aku kembali

di tengah pandemi covid-19, waktunya menjelajah, ke dalam.

ku temukan jurnal bercover kulit ditumbuhi jamur. tersimpan di ruangan lembab. 

sesekali memang masih ku baca jurnal yang ku tulis sejak sekolah dasar hingga bekerja di ibu kota. 

beberapa jurnal yg terdapat besi dalam rangkanya pun mulai diserang karat seiring berjalannya waktu.

ku putuskan untuk kembali. ke blog. menulis sesuatu yang ingin dibaca kembali. 

tentu jurnaling akan tetap dilakukan, untuk diri sendiri. beberapa akan ku tulis di blog untuk kembali dibaca, oleh diri sendiri maupun kamu (yang sedang membaca ini). 

serangkaian kata yang tersusun dalam proses pembentukan diriku saat ini, tak akan ku hapus. tak ada postingan yang ku edit. semua murni, seperti perjalanan dalam menulis kata hubung “di” dan “ke” yang harus dipisah atau disatukan.

blog ini begitu tulus bagiku. tak seperti instagram yang sesak dengan citra diri banyak orang. walau twitter cukup nyaman, tapi di sana seperti teras rumah. masih dapat melihat orang lain berlalu lalang. 

blog adalah rumahku. hanya orang-orang terpilih yang dapat mengetuk pintunya. masuk dengan tulus lalu ku ajak bercerita. 

aku tak berharap kamu suka, tapi terima kasih sudah mampir.

Minggu, 3 Mei 2020
03.25
(bukan menunggu sahur, tapi memang belum tidur)

Selasa, 17 April 2018

15 Tahun Jejak Petualang (HUT JP)




Pagi itu, 2 November 2012, pergelangan kaki ku cedera saat skipping. Beberapa minggu mengenakan sandal ke sekolah. Bukan manja, nyata sakitnya.


Rutin melakukan olahraga skipping merupakan caraku untuk menambah tinggi badan, selain berenang setiap hari Minggu, dan minum susu berkalsium tinggi (korban iklan haha). Tinggi badanku pada saat itu adalah 157 cm, target yang hendak dicapai adalah 165 cm pada usia 22 tahun (lulus kuliah).


Angka 165 merupakan persyaratan menjadi presenter Jejak Petualang. Saat itu, aku masih lepas pasang khimar. Jadi, tak masalah jika ada persyaratan “tidak memakai hijab”.


FYI, dalam Islam hijab itu “pakaian” yang menutup aurat sesuai syariat Islam, jilbab itu gamis, dan khimar itu penutup kepala.


Setelah lulus SMA, aku melanjutkan studi di Fikom Unpad, jurusan Jurnalistik. Di bangku kuliah, aku bergabung dengan Klub Aktivis Pegiat dan Pemerhati Alam (KAPPA). Sebuah unit kegiatan mahasiswa dengan dasar keilmuan komunikasi untuk diaplikasikan dalam kegiatan alam bebas. Wah, pas! Linear dengan cita-citaku. Walau saat itu sudah tidak bercita-cita menjadi seorang presenter Jejak Petualang karena tiga hal. Tinggi badanku mentok di 160cm, aku memutuskan untuk berkhimar, dan rasanya aku tidak se camera face itu untuk muncul di JP. haha


Selain KAPPA, aku juga bergabung dengan Korps Protokoler Mahasiswa. Tempat ku berlatih untuk bekerja secara profesional karena selain mengurus kegiatan internal organisasi, juga harus menjadi protokoler dalam beberapa kegiatan yang ada di Unpad.


Jurnalistik, KAPPA, dan KPM. Ketiganya membentuk sebuah cita-cita baru. Harus menjadi reporter TV, setelah itu menjadi Public Relations di sebuah perusahaan media, lalu menjadi PR di sebuah perusahaan multinasional atau BUMN. Kalo ga jadi reporter TV (di salah satu dari tiga stasiun TV yang terlihat masih independen), berarti harus langsung jadi PR.


Usai sidang Agustus 2017 lalu, istirahat. Menikmati kelulusan walau belum revisi. Dan secara tak sengaja melihat informasi rekrutmen reporter di TV yang ku incar. Langsung gaspol. Malam takbir menuju lebaran Idul Adha di Dunkin Donuts Jatinangor bikin CV sampai ketiduran dan dibangunin Abang Dunkin pukul 6 pagi di hari lebaran (untung saat itu lagi datang bulan, jadi ga nyesel, tapi malu). LOL


Alhamdulillah bisa ikut tahapan rekrutmen di TV yang ku pengen. Mata berkaca-kaca pas liat profil perusahaan yang ada di Jalan Kapten Tendean. Setelah test di sana, malamnya ada email masuk dari HR stasiun TV berita saudaranya TV yang pertama, masih di Kapten Tendean. Satu Bapak. Kalo yang kedua ini, emang lebih keren karena bekerja sama dengan turner international. Ga sengaja apply, tapi HR nya hubungin aku via linkedin. Setelah itu, aku nunggu satu TV yang emang sampai saat ini belum rekrutmen buat reporter. Sambil nunggu, coba-coba apply di salah satu stasiun TV Biro. Namun, belum rezekinya walau ada yang sudah sampai tahapan casting. Ada yang suruh nunggu ampe tahun pilkada selesai, ada juga yang tidak bisa menerima karena aku memakai simbol agama. Kalo alasan khimar ini emang udah diwanti-wanti sama seniorku yang jadi news anchor di salah satu TV berita sih. Tapi penasaran aja gitu pengen nyoba.


Finally, aku ga jadi presenter JP, ga jadi reporter, tapi jadi PR di sebuah media yang menyebarkan berita baik.  Ternyata Allah ngasih loncatan karier. Alhamdulillah…




Mengutip kalimat di salah satu drakor, "Lagipula, melewati hidup ini adalah pertama kalinya bagi kita semua."





Mengikhlaskan sesuatu itu memang sulit tapi Allah lebih tahu mana yang terbaik dan dibutuhkan hamba-Nya. Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?



Senin, 07 Desember 2015

Kartiniku


Karya Resti Octaviani

            Lembar demi lembar dari sebuah buku yang berkisah tentang seorang entertainment muda yang sangat menginspirasi bagi semua muslimah sudah menunjukkan halaman 178. Namun dalam setiap paragraf yang kubaca terselip sepi tak terkira.
            ‘Begitu sepinya hidup tanpa sebuah persahabatan yang abadi, semua teman-temanku yang dulu selalu berkumpul untuk berbagi suka duka dan sharing tentang hal apa pun  kini berubah, persahabatan ini menjadi sebuah perkumpulan dari para akhwat yang berpasangan. Walaupun pasangan yang dimaksud adalah antara dua akhwat yang bersahabat dengan sangat. Miris,’ ucapku dalam hati.
            Kubaca paragraf selanjutnya. Dan kembali berfikir, ‘mungkin aku terlalu egois sehingga tak mampu mempertahankan persahabatan seperti mereka. Walau memang pada dasarnya aku lebih menyukai persahabatan yang murni. Tak ada seka untuk membatasi dengan teman-teman lainnya.’
            “Assalamua’laikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Pengumuman kepada seluruh siswa siswi SMA Harapan Negara wajib mengirimkan satu sampai dua siswi putri sebagai perwakilan kelas untuk memperingati hari Kartini. Dan berkumpul di aula sepulang sekolah. Terima kasih,” suara pengumuman dari fackajing yang dipasang di seluruh kelas membuyarkan lamunanku.
            Teman-temanku pun mengajukan aku dan Dewi untuk mewakili kelas XI IPA 7. Awalnya aku menolak karena kegiatan ini sangat mendadak. Aku pun tak tahu apa yang harus kulakukan nanti. Namun, semuanya aku serahkan kepada Sang Mahasutradara.
            Setelah shalat dzuhur, aku menerima SMS dari Dewi,

            ‘Afwan ukh, ana gak bisa kumpul ke aula. Soalnya harus latihan nasyid. Afwan ya…’

            Karena sedang tidak ada pulsa, jadi SMS Dewi tidak ku balas. Hampa langkahku terkalahkan dengan amanah yang telah diberikan teman-teman sekelas. Sehingga mengantarkan kaki ini sampai ke aula.
            “Assalamu’alaikum,”ucapku ketika bergabung dengan teman-teman lainnya.
            “Wa’alikumsalam, “ jawab mereka.
            Aku pun duduk di kursi yang paling depan. Di sana ada temanku yang sudah kuanggap menjadi kakak sendiri, dialah Tami. Nampaknya ia sedang asyik mengobrol dengan ketua KIR. Hanya sapaan ‘hai’ yang keluar dari mulut kami.
            Dunia terasa semakin sepi Ya Allah. Kembali ku buka buku yang sedari tadi ku baca.
‘Hanya buku yang menjadi sahabatku, dan  Engkaulah sahabat setiaku Ya Allah.’
Beberapa menit kemudian datanglah dua orang wakasek kesiswaan. Dan beliau berdua menyampaikan maksud mengumpulkan kita semua di aula ini. Lomba Pidato. Ya, lomba pidato mengenai hari Kartini, karena sekarang tanggal 21 April.
‘Ya ampun, apa yang harus aku sampaikan? Aku lupa dengan sejarah hari Kartini,’ batinku.
Namun, untungnya aku masih bisa berdiskusi terlebih dahulu dengan adik kelas ku. Sehingga ada sedikit gambaran.
“Peserta ke 7, silahkan,” panggil salah seorang kesiswaan sekaligus juri dari perlombaan ini.
‘Bismillahirramannirrahim,’ ucapku dalam hati. Kubawa buku yang tadi kubaca ke depan aula untuk ikut serta tampil di depan juri dan teman-teman dari setiap perwakilan kelas.
            Kata demi kata mengalir begitu saja dari mulutku, ‘walau sesekali pasti tampak kelihatan berfikir. Hehe…’
            Tokoh dalam buku yang berkisah tentang seorang entertainment muda yang sangat menginspirasi bagi semua muslimah pun ku jadikan contoh sebagai RA Kartini di tahun 2012, selain kepala sekolah dan ketua ekstrakurikuler di SMA Harapan Negara yang merupakan dari kaum hawa juga.
            Seluruh peserta telah tampil. Dan menampilkan kemampuan berpidato dadakan dengan semaksimal mungkin. Walau semua persiapannya serba dadakan.
             Tibalah penutupan dari salah seorang  juri. Beliau menceritakan sejarah hari Kartini dengan sangat memukau. Tak ada seorang pun dari peserta yang memaparkan sejarah hari Kartini serinci beliau.
            “Siapa Kartini 2012?” tanya beliau.
            Semua menggeleng. Mulutku pun membisu. Padahal saat berpidato di depan tadi, aku menyebutkan beberapa orang Kartini 2012. Namun, hatiku mencegah untuk mengucapkannya kembali.     
            Kebisuan pun berubah menjadi kegaduhan dalam diskusi yang terbisikkan. Ya, semua saling berbisik, sehingga menimbukan was wes wos yang memenuhi aula.
            “Kartini kita adalah Ibu kita masing-masing,” ucap beliau dengan penuh wibawa dan juga keibuan.
            “Ibu kita adalah Kartini yang paling berjasa dalam hidup kita. Seorang pejuang yang rela mentaruhkan nyawanya saat melahirkan kita. Seorang dokter yang sangat ampuh menyembuhkan kekalutan kita. Seorang perawat yang setia menemani kita disaat sakit. Kecintaannya tak akan habis walau ia telah tiada. Namun, sepanjang masa. Ibu kita yang masih ada di dunia ini tak akan lelah melantunkan do’a untuk kesuksesan anaknya. Dan Ibu kita yang telah tiada, akan selalu melatunkan do’a di jannah-Nya.”
            Sungguh, kata-kata beliau telah memanah kalbu ini. Panah yang menjadi pencerahan atas redupnya kalbu yang kadang lupa akan jasa orang-orang terdekat di sekitar kita.
            Aku tak sanggup menahan air mata ini. Ku ambil handphone untuk mencurahkan semuanya.
            Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah. Ya Allah, sungguh menyesal rasanya di hari Kartini ini hamba tak membawa Mama ke dalam pidato tadi. tak bermaksud hati ini untuk melupakan jasa-jasanya. Ya Rabbal Izzat, jangan samarkan nama beliau di balik nama orang-orang yang sama sekali tidak mengenaliku. Amin Ya Rabbal Alamin…

˜SELESAI˜




*tulisan ini dibuat pada bulan Mei 2012, tapi terlalu lama mengendap di draft akhirnya baru diposting.

Dunia Maya “Rasa” Dunia Nyata

Oleh Resti Octaviani

Rabu, 2 Desember 2015, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Aula Bale Padjadjaran 4. Walaupun sudah kuliah lebih dari dua tahun di Kampus Unpad Jatinangor, tapi kali ini pertama kalinya saya memasuki area Bale Padjadjaran yang berada di kawasan Pedca. Lokasinya ada di seberang halaman FISIP. Di sana, terdapat petunjuk arah  bertuliskan “Pedca”. Ada beberapa toko khusus yang menjual merchandise Unpad, bank BRI, food court, dan sebagainya. Namun, jika hendak ke Bale Padjadjaran 4 kita hanya perlu berjalan lurus dari Pedca hingga akhirnya ada belokan ke kanan, di mana area Bale Padjadjaran berada.
                Pagi itu, jarum pendek jam menunjukkan angka 9 dan jarum panjangnya menunjukkan angka 3. Memasuki bale, nampak antrian panjang di meja registrasi Seminar Kebebasan Berpendapat di Media Sosial yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Sejarah, Unpad. Seminar ini merupakan pengganti perkuliahan Jurnalisme Online. Di poster yang tersebar, tertera waktu kegiatan dimulai pada pukul 09.00 WIB – 12.00 WIB. Namun, hingga lebih dari satu jam dari waktu yang tertera, kegiatan belum mulai juga. Hmm lagi-lagi “ngaret”.
                Aula Bale Padjadjaran 4 pun terlihat penuh. Mahasiswa Unpad dari berbagai jurusan datang untuk mengikuti seminar bertema etika ini. Menurut panitia, jumlah peserta yang datang melibihi perkiraan. Akibatnya, banyak peserta tidak kebagian goodie bag-termasuk saya. Nasi box untuk makan siang pun dibagikan kepada peserta yang datang karena panitia kehabisan snack.
                Pembicara pada seminar tersebut ada Nunik Maharani (Staf Pengajar Fikom Unpad), Intan Anggita (Blogger menujutimur.com), dan Adi Marsiela (Ketua Aliansi Jurnalis Independen “AJI” Bandung). Namun, pada kenyataannya, Adi Marsiela tidak diposisikan sebagai pembicara, tapi sebagai moderator. Selain itu, ada pembicara dari pihak sponsor yang tidak tertera pada poster. Dia dari Gressnews, Agustinus Edy Kristianto.
Seminar dibuka oleh dua orang mahasiswi sejarah. Sang moderator, Adi Marsiela, menceritakan beberapa kasus terkait kebebasan berpendapat di media sosial terlebih dahulu. Ada 118 orang yang terjerat hukum karena pelanggaran Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan rentan waktu dari tahun 2008–2015. Sebagian delik aduan berasal dari mereka yang mempunyai kekuasaan atau jabatan, dengan terlapor masyarakat kecil yang tak punya apa-apa dan hanya bisa berkeluh-kesah di media sosial.  
Pembicara pertama yaitu Nunik Maharani. Riuh rendah sorak sorai mahasiswa Jurnalistik yang datang menyambut Mpok Nunik, sapaan bagi dosen jurnalistik berkacamata dengan rambut pendek kurang dari sebahu, ketika akan berbicara dalam seminar tersebut. Menurutnya, internet diciptakan untuk membentuk “ruang”. Apakah disebut ruang diskusi? Entahlah, masih menjadi perdebatan.
Sebagian besar, yang aktif di internet adalah kaum muda urban yang berada di pulau Jawa. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) perlu ada untuk mengatur etika di dunia maya. Mpok berharap dengan adanya  internet, kebebasan berita jangan sampai terbawa arus rezim yang berkuasa saat ini. UU ITE harus melindungi hal netizen untuk bersuara dan demokrasi.
 Pembicara kedua, seorang blogger dengan domain menujutimur.com, Intan Anggita. Ia merupakan wanita kelahiran Ciamis, tumbuh berkembang di Ciamis, mengenyam pendidikan di Ciamis, tapi memiliki blog yang membuka mata kita untuk melihat kekayaan Indonesia bagian Timur, bukan Ciamis.
Bagi Intan sebagai seorang traveller bloger, menulis merupakan tanggung jawab moral setelah melakukan suatu perjalanan. Segala keluh kesah, kritik, dan kekesalan akan infrastruktur atau kebijakan yang ada ketika melakukan perjalanan, ia tumpahkan pada tulisan. Bukan tulisan yang bersifat negatif, tapi tulisan-tulisan yang menceritakan Indonesia bagian Timur apa adanya dengan kenaturalannya.
Di saat menulis, kita harus memikirkan dampaknya. Menulislah dengan dampak positif. Tahan diri jika melihat sesuatu yang tak sesuai dengan harapan, jangan sampai marah atau menceritakan kekesalan di media sosial, karena apa yang ada di media sosial akan menggambarkan kepribadian pemiliknya. Tahan diri dulu, jangan reaktif!
Seminar Kebebasan Berpendapat di Media Sosial, Bale Padjadjaran 4, Kampus Unpad Jatinangor. (02/12)
Pembicara terakhir yaitu Agustinus Edy Kristianto dari pihak Gressnews. Sebenarnya, Agustinus tidak diposisikan sebagai pembicara formal. Ia hanya menambahkan beberapa hal terkait isu yang diangkat pada seminar. Ia juga ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh para peserta.

Dari beberapa pembicara yang ada, saya setuju dengan pendapat Intan Anggita, Adi Marsiela dan Mpok Nunik. Dunia maya saat ini semakin nyata. Aturan dan rambu-rambu yang ada hampir mirip dengan dunia nyata. Sudah menjadi kewajiban kita, sebagai insan berbudi, menjaga segala tingkah laku dan tutur kata, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kini, dunia maya terasa dunia nyata. 

Jumat, 27 November 2015

Mengalahkan “Ular Berbisa” di Bojongkokosan

karya Resti Octaviani



“TEMBAAAAAAAAAK!”
DOR! DOR! DOR! 
Minggu sore, sekitar pukul 15.00 WIB, dalam suasana Ramadhan, 9 Desember 1945. Masyarakat siap sedia melawan sekutu yang melewati Jalan Bojongkokosan, Sukabumi, Jawa Barat. Pemuda yang belum genap 20 tahun itu membawa lima senjata hasil rampasan dari Jepang. Ia luncurkan peluru ke arah sekutu. Namanya Satibi. Seorang prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
 “Ini bukan perang, kami hanya mencegat sekutu,” kata Satibi. “Tentara sekutu ini terdiri dari Gurkha. Tentara bayaran asal Nepal, Bombay, Australia, dan negara lainnya. Jadi bukan hanya tentara Inggris,” papar prajurit TKR tersebut.
Dari informasi yang didapat, akan ada 20 truk sekutu yang akan melewati kawasan Bojongkokosan. Namun, nyatanya ratusan kendaraan perang yang datang. Konvoi yang melibatkan tentara bayaran tersebut memanjang hingga 12 kilometer di antara tebing-tebing celah pegunungan.
Didahului oleh pengawalan tank sherman, panser wagon, brencarrier dan iring-iringan 150 buah truk pengangkut perbekalan APWI, konvoi sekutu meliuk-liuk menelusuri celah-celah tebing, menuju Bandung lewat Bogor-Sukabumi-Cianjur.
Kendaraan pendahulu berhenti dihadang perintang jalan. Mereka terjebak lubang dan bambu yang disiapkan pejuang  di jalan yang diapit oleh dua tebing di Bojongkokosan. Di atas perbukitan dipenuhi TKR dan rakyat yang menempati lubang-lubang persembunyian. Dari sanalah mereka menyerang, menguasai tebing, menghujani dengan bom molotov  ke arah kendaraan konvoi.
Serangan  yang terjadi disusun oleh TKR dan Letnan Kolonel Eddie Soekardi. Pertempuran heroik itu  melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Tua, muda, laki-laki, perempuan. Organisasi masyarakat seperti Pesindo, Hizbullah, Barisan Banteng, Angkatan Pemuda Indonesia (API),  semua menyerang sekutu.
Seorang ibu membawa alu, siap menghadang sekutu. Ketapel dijampe Kiai, bambu yang diruncingkan, bensin dibakar, lalu dilemparkan ke arah sekutu. Taktik yang digunakan adalah hit and run. Namun, tak semua masyarakat memahami taktik perang. Ada yang berlari lurus menghindar serangan sekutu. Ada pula yang bersembunyi dengan posisi menungging. Hanya kepalanya saja yang bersembunyi. Akhirnya , 28 pejuang gugur.
Satibi membawa mayat-mayat pejuang Indonesia ke Taman Pahlawan di Jalan Baros Kota Sukabumi. Di sana, mayat-mayat dimakamkan secara massal. Tanpa disholatkan, tanpa dimandikan. Hanya dibungkus daun pisang.
Perlengkapan senjata yang digunakan sekutu lengkap dan canggih. Komandan Resimen TKR Sukabumi Letnan Kolonel Eddie Soekardi menyebutnya “ular berbisa”.  Kepala ular tersebut adalah tank sherman, tengkuknya: panser wagon, badan sampai ekornya: truk-truk, dan diperkuat oleh ruas-ruas tulangnya: brencarrier.
Komandan Batalion, Jats, cedera berat dalam serangan pertama. Sebuah kendaraan hancur lebur, kendaraan lainnya banyak yang rusak berat. Terutama sopir-sopir, berjatuhan dari atas truk, tewas tertembak secara mengerikan.
Kabut tebal mengaburkan penglihatan ketika sekutu memuntahkan bom. Peluru dan persenjataan yang dugunakan masyarakat Bojongkokosan habis.
 “Alhamdulillah, atas pertolongan Allah, hujan lebat dan angin puting beliung datang.  Menyelamatkan pihak republik untuk mundur. Kita jadi bisa kabur saat sekutu menyerang,” ucap veteran Sukabumi yang kini berusia 89 tahun itu.
Berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, hujan, kabut, dan angin tersebut membuat bumerang bagi sekutu. Tercatat, 50 tentara sekutu tewas, 100 terluka dan 30 lainnya hilang saat pertempuran di Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi.
Akibat sekutu merasa terkalahkan, esok harinya Pasar Cibadak dibombardir oleh Royal Air Force (RAF). Perang udara terbesar di Jawa pun terjadi. The greatest air attack. Luapan emosi Inggris karena gengsi sebagai pemenang dalam Perang Dunia II.
Pertempuran tersebut menggugurkan 45 pejuang dan rakyat Sukabumi. Peristiwa Bojongkokosan kemudian menjadi pemicu awal dalam peristiwa yang dikenal dengan Perang Konvoi dan merupakan Perang Konvoi Pertama (The First Convoy Battle) tanggal 9 hingga 12 Desember 1945. Sedangkan Perang Konvoi Kedua terjadi pada tanggal 10 hingga 14 Maret 1946. Pencegatan konvoi di Bojongkokosan itu juga diyakini sebagai peristiwa pembuka Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946.
Satibi berhasil selamat karena pengalaman perangnya. Ia merupakan prajurit perang yang cukup ‘terpakai’ oleh Eddie Soekardi.
Ia mantan tentara PETA ketika pemerintahan Jepang. PETA diubah karena Jepang kalah pada Perang Dunia II, diganti menjadi TKR. Sebenarnya Satibi tak ingin berkecimpung lagi di dunia kemiliteran. Ia seorang masyarakat biasa, tetapi akibat adanya revolusi kemerdekaan, mantan tentara PETA dan Kenir ditarik lagi oleh Soedirman. Untuk menghadang beberapa peperangan yang terjadi setelah kemerdekaan.
Dulu, rumah Satibi di pinggir Jalan Bojongkokosan. Namun,  karena sering digunakan tempat persembunyian saat pertempuran, rumahnya hancur. Kini ia tinggal di sebuah rumah belakang museum Bojongkokosan. Rumah itu dihuni oleh dua kepala keluarga; Satibi, dan anaknya yang paling bungsu, Wawan Suwandi.
Rumah itu berukuran sekitar 6x4 meter. Terasnya beralaskan tanah. Ada kursi dengan kondisi dudukan berlubang dan meja yang akan menyambut tamu datang, masih di teras. Di dalam rumah, ruang utama dan ruang keluarga hanya beralaskan karpet. Bukan karpet permadani yang empuk dan tebal, tetapi karpet berbahan karet yang tipis.
Satibi sempat menjadi pengelola museum Bojongkokosan. Namun ia mengundurkan diri dari pengelolaan karena sudah mulai menua dan tidak menerima gaji dari pemerintah daerah pada beberapa tahun ke belakang . Pengelolaan museum pun diteruskan oleh anaknya, Wawan Suwandi, dengan gaji Rp 250.000/bulan.
“Saya mengolala museum Bojongkokosan karena ini adalah amanat besar. Amanah dari Bapak untuk meneruskan ikut mengelola Bojongkokosan walaupun dengan gaji seperti itu. Sekarang, saya dipercaya oleh Pemda (Pemerintah Daerah) untuk mengelola beberapa fasilitas di Bojongkokosan dan mendapatkan gaji 600 ribu perbulan,” kata Wawan.
“Apa sih saya, hanya anak seorang prajurit beda sama anak seorang Letkol atau Jenderal, jadi kita mesti banyak kerja keras,” tambah anak veteran tersebut.
Tahun 2013, Kodam Siliwangi yang bekerja sama dengan PT Reindo menjanjikan akan merenovasi rumah Satibi. Namun, hingga kini, teras rumahnya masih beralaskan tanah, dindingnya berbilik bambu.
Wawan berusaha mencari informasi mengenai janji Kodam Siliwangi dan PT Reindo yang akan merenovasi rumah Satibi. Hasilnya nihil. PT Reindo pun tak ditemukan di mana alamat lengkapnya, tak jelas jenis perusahaan apa.
“Itu perusahaan fiktif,” kata Wawan.



Foto bersama Pak Satibi. (15/05)

Kondisi rumah Pak Satibi di Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. (15/05)



Sumber tulisan:
Wawancara langsung narasumber pada tanggal 15 Mei 2015 dan 17 Juni 2015
-          - Satibi
-         -  Wawan Suwandi

Iskandar, Yoseph dkk. 1997. Pertempuran Konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946. Jakarta: Sukardi LTD






***Bapak Satibi meninggal dunia pada Kamis, 26 November 2015. Sebelumnya dirawat di RS. Sekarwangi Kab.Sukabumi karena komplikasi. 

Sabtu, 13 Juni 2015

Angka Gerak, Gila!





Angka


Jarum


Gerak



Kedua dalam tingkat dua
Tertawa berpadu harmoni

Dia bilang
Aku, gila!

Mereka, satu, dua, ....
Dalam muslihat yang rapi

Kalau tak gini, gimana?
Kecil hati dengan cakrabuana





Jatinangor, 11 Juni 2015
dalam siang gundah angka

Senin, 11 Mei 2015

Surat Keempat Belas


“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)


Schedule board penuh. HP banyak kontak narasumber. Di lantai berceceran TOR buat liputan. Kamera di kasur. Recorder di atas tas.  Laptop standby di sisi kiri kasur. Modem nyolok terus. Ketiduran dan internet masih on. 1 GB cuma buat sehari.


Mata hitam berkantung. Sarapan dibablasin ke makan siang.

Tempat cucian menggunung. Balik pintu baju kotor menggantung. Sepatu kotor bikin males pake. Koran ga ditilep rapi. Kadang cuma beli aja, “ga sempet” baca.

Udah semester empat aja nih. Tahun lalu dioje, sekarang ngoje. Mantep sih, “plus plus”.

Rasanya kesel juga ketika sadar susunan kata hasil getting ga sesuai ekspektasi. Kok gini ya? Anti klimaks. Ga greget.

Capek juga ya liputan mulu tapi “masih gini-gini aja”. Ngapain deh harus dateng ke pengadilan segala? Ngapain deh harus becek-becekan di pasar?

Tapi semuanya lenyap. Ketika (mungkin) sudah tau “posisi” yang nyaman.

Di mana bisa jalan-jalan, bisa melihat seni yang masuk ke hati. Semuanya ga melulu soal “hasil” tapi “memproses”. Ga melulu soal “menyaksikan” tapi “menyimak”. Ga melulu soal “terjawabnya pertanyaan saat wawancara” tapi “mendengarkan dan memahami”.

Ada satu tempat, yang punya magnet tersendiri. Mungkin menyerupai laboratorium yang kuiingankan dulu. Mungkin ada senyum yang air mukanya membuat nyaman. Mungkin semua rubrik dapat digarap di sana. Sebuah kampung kreatif di dalam gang berukuran 3 meter seberang Hotel Sheraton, Bandung.

Mural. Patung. Poster. Seni 3D. Tari. Musik. Lukisan.

Teringat piala pertama saat TK, lomba mewarnai. Sertifikat-sertifikat lukis dan graffiti saat SMA. Tak banyak memang. Tak ahli memang.

Tiba-tiba rindu suasana rumah dengan meja penuh kertas  gambar, car air, crayon, koas berbagai ukuran, palet, dan “jajarannya”.

Sesuatu yang dibuat dengan hati. Memainkan waktu yang berkualitas. Pasrah dengan tangan yang mengayun memegang batang kayu berujung bulu halus.



Namun, semuanya berubah. Pikiran semraut. Kertas yang berceceran. Dering pesan, telpon, chat, hanya membuat waktu 24 jam seperti 24 menit.

Tapi bukankah itu bidang yang dicita-citakan sejak sekolah dasar? Saat Pak Tambun bertanya mengenai cita-cita. Mengenai studi kasus dengan perumpamaan ketika sedang meliput di daerah perang. Jurnalistik.

Kenapa tidak mencoba untuk mengelaborasikan keduanya? Jurnalistik dan seni. Semoga bisa lebih “menikmati”.

Terima kasih atas skenario yang indah. Skenario yang tak akan terpikirkan oleh manusia. Skenario yang sudah ada, di Lauhul Mahfuzh.

Jalani, resapi, nikmati…















Kosan Putri, 11 Mei 2015
08.04 WIB