Karya Resti Octaviani
Lembar
demi lembar dari sebuah buku yang berkisah tentang seorang entertainment muda
yang sangat menginspirasi bagi semua muslimah sudah menunjukkan halaman 178.
Namun dalam setiap paragraf yang kubaca terselip sepi tak terkira.
‘Begitu
sepinya hidup tanpa sebuah persahabatan yang abadi, semua teman-temanku yang
dulu selalu berkumpul untuk berbagi suka duka dan sharing tentang hal apa
pun kini berubah, persahabatan ini
menjadi sebuah perkumpulan dari para akhwat yang berpasangan. Walaupun pasangan
yang dimaksud adalah antara dua akhwat yang bersahabat dengan sangat. Miris,’ ucapku
dalam hati.
Kubaca paragraf selanjutnya. Dan kembali berfikir, ‘mungkin
aku terlalu egois sehingga tak mampu mempertahankan persahabatan seperti
mereka. Walau memang pada dasarnya aku lebih menyukai persahabatan yang murni.
Tak ada seka untuk membatasi dengan teman-teman lainnya.’
“Assalamua’laikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Pengumuman kepada seluruh siswa siswi SMA Harapan Negara wajib mengirimkan satu
sampai dua siswi putri sebagai perwakilan kelas untuk memperingati hari
Kartini. Dan berkumpul di aula sepulang sekolah. Terima kasih,” suara
pengumuman dari fackajing yang dipasang di seluruh kelas membuyarkan
lamunanku.
Teman-temanku
pun mengajukan aku dan Dewi untuk mewakili kelas XI IPA 7. Awalnya aku menolak
karena kegiatan ini sangat mendadak. Aku pun tak tahu apa yang harus kulakukan
nanti. Namun, semuanya aku serahkan kepada Sang Mahasutradara.
Setelah
shalat dzuhur, aku menerima SMS dari Dewi,
‘Afwan ukh, ana gak bisa kumpul ke
aula. Soalnya harus latihan nasyid. Afwan ya…’
Karena
sedang tidak ada pulsa, jadi SMS Dewi tidak ku balas. Hampa langkahku terkalahkan
dengan amanah yang telah diberikan teman-teman sekelas. Sehingga mengantarkan
kaki ini sampai ke aula.
“Assalamu’alaikum,”ucapku
ketika bergabung dengan teman-teman lainnya.
“Wa’alikumsalam,
“ jawab mereka.
Aku
pun duduk di kursi yang paling depan. Di sana
ada temanku yang sudah kuanggap menjadi kakak sendiri, dialah Tami. Nampaknya
ia sedang asyik mengobrol dengan ketua KIR. Hanya sapaan ‘hai’ yang keluar dari
mulut kami.
Dunia
terasa semakin sepi Ya Allah. Kembali ku buka buku yang sedari tadi ku baca.
‘Hanya buku
yang menjadi sahabatku, dan Engkaulah
sahabat setiaku Ya Allah.’
Beberapa menit
kemudian datanglah dua orang wakasek kesiswaan. Dan beliau berdua menyampaikan
maksud mengumpulkan kita semua di aula ini. Lomba Pidato. Ya, lomba pidato
mengenai hari Kartini, karena sekarang tanggal 21 April.
‘Ya ampun,
apa yang harus aku sampaikan? Aku lupa dengan sejarah hari Kartini,’ batinku.
Namun,
untungnya aku masih bisa berdiskusi terlebih dahulu dengan adik kelas ku.
Sehingga ada sedikit gambaran.
“Peserta ke 7,
silahkan,” panggil salah seorang kesiswaan sekaligus juri dari perlombaan ini.
‘Bismillahirramannirrahim,’
ucapku dalam hati. Kubawa buku yang tadi kubaca ke depan aula untuk ikut serta
tampil di depan juri dan teman-teman dari setiap perwakilan kelas.
Kata
demi kata mengalir begitu saja dari mulutku, ‘walau sesekali pasti tampak
kelihatan berfikir. Hehe…’
Tokoh
dalam buku yang berkisah tentang seorang entertainment muda yang sangat menginspirasi
bagi semua muslimah pun ku jadikan contoh sebagai RA Kartini di tahun 2012,
selain kepala sekolah dan ketua ekstrakurikuler di SMA Harapan Negara yang
merupakan dari kaum hawa juga.
Seluruh
peserta telah tampil. Dan menampilkan kemampuan berpidato dadakan dengan
semaksimal mungkin. Walau semua persiapannya serba dadakan.
Tibalah penutupan dari salah seorang juri. Beliau menceritakan sejarah hari
Kartini dengan sangat memukau. Tak ada seorang pun dari peserta yang memaparkan
sejarah hari Kartini serinci beliau.
“Siapa
Kartini 2012?” tanya beliau.
Semua
menggeleng. Mulutku pun membisu. Padahal saat berpidato di depan tadi, aku
menyebutkan beberapa orang Kartini 2012. Namun, hatiku mencegah untuk
mengucapkannya kembali.
Kebisuan
pun berubah menjadi kegaduhan dalam diskusi yang terbisikkan. Ya, semua saling
berbisik, sehingga menimbukan was wes wos yang memenuhi aula.
“Kartini
kita adalah Ibu kita masing-masing,” ucap beliau dengan penuh wibawa dan juga
keibuan.
“Ibu
kita adalah Kartini yang paling berjasa dalam hidup kita. Seorang pejuang yang
rela mentaruhkan nyawanya saat melahirkan kita. Seorang dokter yang sangat
ampuh menyembuhkan kekalutan kita. Seorang perawat yang setia menemani kita
disaat sakit. Kecintaannya tak akan habis walau ia telah tiada. Namun,
sepanjang masa. Ibu kita yang masih ada di dunia ini tak akan lelah melantunkan
do’a untuk kesuksesan anaknya. Dan Ibu kita yang telah tiada, akan selalu
melatunkan do’a di jannah-Nya.”
Sungguh,
kata-kata beliau telah memanah kalbu ini. Panah yang menjadi pencerahan atas
redupnya kalbu yang kadang lupa akan jasa orang-orang terdekat di sekitar kita.
Aku
tak sanggup menahan air mata ini. Ku ambil handphone untuk mencurahkan
semuanya.
Astaghfirullah,
Astaghfirullah, Astaghfirullah. Ya Allah, sungguh menyesal rasanya di hari
Kartini ini hamba tak membawa Mama ke dalam pidato tadi. tak bermaksud hati ini
untuk melupakan jasa-jasanya. Ya Rabbal Izzat, jangan samarkan nama beliau di
balik nama orang-orang yang sama sekali tidak mengenaliku. Amin Ya Rabbal
Alamin…
˜™SELESAI˜™
*tulisan ini dibuat pada bulan Mei 2012, tapi terlalu lama mengendap di draft akhirnya baru diposting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar