karya Resti Octaviani
“TEMBAAAAAAAAAK!”
DOR!
DOR! DOR!
Minggu sore, sekitar pukul 15.00 WIB, dalam suasana Ramadhan, 9 Desember
1945. Masyarakat siap sedia melawan sekutu yang melewati Jalan Bojongkokosan,
Sukabumi, Jawa Barat. Pemuda yang belum genap 20 tahun itu membawa lima senjata
hasil rampasan dari Jepang. Ia luncurkan peluru ke arah sekutu. Namanya Satibi.
Seorang prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
“Ini bukan perang, kami hanya
mencegat sekutu,” kata Satibi. “Tentara sekutu ini terdiri dari Gurkha. Tentara
bayaran asal Nepal, Bombay, Australia, dan negara lainnya. Jadi bukan hanya
tentara Inggris,” papar prajurit TKR tersebut.
Dari informasi yang didapat, akan ada 20 truk sekutu yang akan melewati
kawasan Bojongkokosan. Namun, nyatanya ratusan kendaraan perang yang datang.
Konvoi yang melibatkan tentara bayaran tersebut memanjang hingga 12 kilometer
di antara tebing-tebing celah pegunungan.
Didahului oleh pengawalan tank sherman, panser wagon, brencarrier dan
iring-iringan 150 buah truk pengangkut perbekalan APWI, konvoi sekutu
meliuk-liuk menelusuri celah-celah tebing, menuju Bandung lewat
Bogor-Sukabumi-Cianjur.
Kendaraan pendahulu berhenti dihadang perintang jalan. Mereka terjebak
lubang dan bambu yang disiapkan pejuang
di jalan yang diapit oleh dua tebing di Bojongkokosan. Di atas
perbukitan dipenuhi TKR dan rakyat yang menempati lubang-lubang persembunyian.
Dari sanalah mereka menyerang, menguasai tebing, menghujani dengan bom
molotov ke arah kendaraan konvoi.
Serangan yang terjadi disusun
oleh TKR dan Letnan Kolonel Eddie Soekardi. Pertempuran heroik itu melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Tua,
muda, laki-laki, perempuan. Organisasi masyarakat seperti Pesindo, Hizbullah,
Barisan Banteng, Angkatan Pemuda Indonesia (API), semua menyerang sekutu.
Seorang ibu membawa alu, siap menghadang sekutu. Ketapel dijampe Kiai,
bambu yang diruncingkan, bensin dibakar, lalu dilemparkan ke arah sekutu.
Taktik yang digunakan adalah hit and run.
Namun, tak semua masyarakat memahami taktik perang. Ada yang berlari lurus
menghindar serangan sekutu. Ada pula yang bersembunyi dengan posisi menungging.
Hanya kepalanya saja yang bersembunyi. Akhirnya , 28 pejuang gugur.
Satibi membawa mayat-mayat pejuang Indonesia ke Taman Pahlawan di Jalan
Baros Kota Sukabumi. Di sana, mayat-mayat dimakamkan secara massal. Tanpa
disholatkan, tanpa dimandikan. Hanya dibungkus daun pisang.
Perlengkapan senjata yang digunakan sekutu lengkap dan canggih. Komandan
Resimen TKR Sukabumi Letnan Kolonel Eddie Soekardi menyebutnya “ular berbisa”. Kepala ular tersebut adalah tank sherman,
tengkuknya: panser wagon, badan sampai ekornya: truk-truk, dan diperkuat oleh
ruas-ruas tulangnya: brencarrier.
Komandan Batalion, Jats, cedera berat dalam serangan pertama. Sebuah
kendaraan hancur lebur, kendaraan lainnya banyak yang rusak berat. Terutama
sopir-sopir, berjatuhan dari atas truk, tewas tertembak secara mengerikan.
Kabut tebal mengaburkan penglihatan ketika sekutu memuntahkan bom.
Peluru dan persenjataan yang dugunakan masyarakat Bojongkokosan habis.
“Alhamdulillah, atas pertolongan
Allah, hujan lebat dan angin puting beliung datang. Menyelamatkan pihak republik untuk mundur.
Kita jadi bisa kabur saat sekutu menyerang,” ucap veteran Sukabumi yang kini
berusia 89 tahun itu.
Berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, hujan, kabut, dan angin tersebut
membuat bumerang bagi sekutu. Tercatat, 50 tentara sekutu tewas, 100 terluka
dan 30 lainnya hilang saat pertempuran di Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda,
Kabupaten Sukabumi.
Akibat sekutu merasa terkalahkan, esok harinya Pasar Cibadak dibombardir
oleh Royal Air Force (RAF). Perang udara terbesar di Jawa pun terjadi. The greatest air attack. Luapan emosi
Inggris karena gengsi sebagai pemenang dalam Perang Dunia II.
Pertempuran tersebut menggugurkan 45 pejuang dan rakyat Sukabumi.
Peristiwa Bojongkokosan kemudian menjadi pemicu awal dalam peristiwa yang
dikenal dengan Perang Konvoi dan merupakan Perang Konvoi Pertama (The First Convoy Battle) tanggal 9 hingga
12 Desember 1945. Sedangkan Perang Konvoi Kedua terjadi pada tanggal 10 hingga
14 Maret 1946. Pencegatan konvoi di Bojongkokosan itu juga diyakini sebagai
peristiwa pembuka Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946.
Satibi berhasil selamat karena pengalaman perangnya. Ia merupakan
prajurit perang yang cukup ‘terpakai’ oleh Eddie Soekardi.
Ia mantan tentara PETA ketika pemerintahan Jepang. PETA diubah karena
Jepang kalah pada Perang Dunia II, diganti menjadi TKR. Sebenarnya Satibi tak
ingin berkecimpung lagi di dunia kemiliteran. Ia seorang masyarakat biasa,
tetapi akibat adanya revolusi kemerdekaan, mantan tentara PETA dan Kenir
ditarik lagi oleh Soedirman. Untuk menghadang beberapa peperangan yang terjadi
setelah kemerdekaan.
Dulu, rumah Satibi di pinggir Jalan Bojongkokosan. Namun, karena sering digunakan tempat persembunyian
saat pertempuran, rumahnya hancur. Kini ia tinggal di sebuah rumah belakang
museum Bojongkokosan. Rumah itu dihuni oleh dua kepala keluarga; Satibi, dan
anaknya yang paling bungsu, Wawan Suwandi.
Rumah itu berukuran sekitar 6x4 meter. Terasnya beralaskan tanah. Ada
kursi dengan kondisi dudukan berlubang dan meja yang akan menyambut tamu
datang, masih di teras. Di dalam rumah, ruang utama dan ruang keluarga hanya
beralaskan karpet. Bukan karpet permadani yang empuk dan tebal, tetapi karpet
berbahan karet yang tipis.
Satibi sempat menjadi pengelola museum Bojongkokosan. Namun ia
mengundurkan diri dari pengelolaan karena sudah mulai menua dan tidak menerima
gaji dari pemerintah daerah pada beberapa tahun ke belakang . Pengelolaan
museum pun diteruskan oleh anaknya, Wawan Suwandi, dengan gaji Rp
250.000/bulan.
“Saya mengolala museum Bojongkokosan karena ini adalah amanat besar.
Amanah dari Bapak untuk meneruskan ikut mengelola Bojongkokosan walaupun dengan
gaji seperti itu. Sekarang, saya dipercaya oleh Pemda (Pemerintah Daerah) untuk
mengelola beberapa fasilitas di Bojongkokosan dan mendapatkan gaji 600 ribu
perbulan,” kata Wawan.
“Apa sih saya, hanya anak seorang prajurit beda sama anak seorang Letkol
atau Jenderal, jadi kita mesti banyak kerja keras,” tambah anak veteran
tersebut.
Tahun 2013, Kodam Siliwangi yang bekerja sama dengan PT Reindo
menjanjikan akan merenovasi rumah Satibi. Namun, hingga kini, teras rumahnya
masih beralaskan tanah, dindingnya berbilik bambu.
Wawan berusaha mencari informasi mengenai janji Kodam Siliwangi dan PT
Reindo yang akan merenovasi rumah Satibi. Hasilnya nihil. PT Reindo pun tak
ditemukan di mana alamat lengkapnya, tak jelas jenis perusahaan apa.
“Itu
perusahaan fiktif,” kata Wawan.
 |
Foto bersama Pak Satibi. (15/05) |
 |
Kondisi rumah Pak Satibi di Desa Bojongkokosan, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. (15/05) |
Sumber tulisan:
Wawancara langsung narasumber pada tanggal 15 Mei 2015 dan 17 Juni 2015
- - Satibi
- - Wawan Suwandi
Iskandar, Yoseph dkk. 1997. Pertempuran Konvoy
Sukabumi-Cianjur 1945-1946. Jakarta: Sukardi LTD
***Bapak Satibi meninggal dunia pada Kamis, 26
November 2015. Sebelumnya dirawat di RS. Sekarwangi Kab.Sukabumi karena
komplikasi.