Selasa, 05 Agustus 2014

Cerita dalam Rantau #Part 1

Wahai saudara rantauku,
Tak pernah terpikirkan oleh ku akan dihadapkan dengan pilihan seperti ini. Ikuti hawa nafsu atau mengembangkan semangat yang di ujuk tanduk.

Mari kita flashback..

Siang itu, bersama teman-teman ku tulis nama dan urusan di atas kertas pendaftaran Cangok. Aku memilih sendiri, tanpa paksaan, hanya mengikuti kata hati. Siang itu aku memilih.

Uang saku yang rakyat Indonesia amanahkan padaku, ku gunakan untuk membeli perlengkapan Hari Pertarungan itu. Outing To.

Syukurku, mempunyai orang tua yang sangat mendukung kegiatan yang dipilih.
Hingga pada suatu hari, adikku sakit. Meningitis.


Dokter kurang pintar! Bagaimana mungkin adikku yang di bawa ke beberapa rumah sakit dan ditangani beberapa dokter mengatakan bahwa ia hanya demam biasa. Kau dapat dari mana gelar dr. mu itu dok?

Kejang dingin untuk pertama kalinya di rumah sakit umum daerah yang ada di kotaku membawa tubuh kecil itu ke “ruang tindakan”. Dan dinyatakan mengidap meningitis atau radang otak. Ia harus segera di bawa ke ruang ICCU dan dirawat minimal 30 hari.

Kondisi ekonomi keluarga kami memang sedang menurun, baru beberapa hari Bapak ku di rawat di rumah sakit swasta. Dan aku memang berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Tak ada kartu-kartu yang dapat meringankan biaya perawatan, apalagi menggratiskannya.

Dengan keberanian dan tenaga ini, aku pergi ke tempat registrasi RSUD, aku minta agar adikku segera dipindahkan ke ruangan ICCU. Aku masih ingin melihat hitam biji lengkeng di bola matanya. Aku masih ingin bermain dengan anak pintar itu.

Pihak rumah sakit tak bisa memindahkan adikku ke ruang ICCU sebelum membayar biaya perawatan selama beberapa hari di ruang anak, sedangkan  biaya perawatan di ruang ICCU itu sendiri  Rp 3 juta/hari, belum termasuk obat.

Sebagai anak pertama, aku membantu Bapak ku untuk mengurus semua. Aku pergi ke kantor desa untuk membuat BPJS. Namun, itu hari Minggu. Akhirnya aku pergi ke rumah ketua RT, ketua RW, kepala desa, dan pihak-pihak terkait yang mungkin bisa meringankan biaya perawatan adikku.

Dengan “harapan” itu, akhirnya adikku dapat masuk ke ruang ICCU.  Sedih rasanya hanya bisa melihat tubuh kecil itu dari jendela lorong ruang ICU. Perlengkapan ruang perawatan itensif harus dipakai sempurna ketika ingin bertemu dengan jagoanku. Tak kuasa ku melihat kabel-kabel yang meilit tubuh adikku, mulai dari hidung sampai ujung kaki.

Air mata tak kuasa untuk ku tahan. Pamit ku kepada balita pintar siang itu ternyata untuk selamanya. Ku percayakan ia pada Allah SWT dan dokter. Syukurku kembali, mempunyai seorang ibu yang sangat tegar. Ia mampu menularkan semangatnya padaku sekalipun sedang dihadapkan dengan malaikat kecilnya yang terbaring tak sadarkan diri itu.

Aku pun harus pergi ke Jatinangor, melanjutkan pilihan itu. Melakukan semua simulasi sebelum pergi ke lapangan.

H-5 OT (malam), hujan mengguyur Jatinangor. Aku ingat Alif, aku ingin pulang untuk menjenguknya walaupun hanya semenit saja. Aku ingin melihat wajahnya…

Selasa, 4 Februari 2014, H-4 OT (pagi), usai shalat subuh, ku kaji lembaran kitab suci umat Islam. Matahari masih enggan menampakkan sinarnya di kosan Nisa. Ya, semalam aku menginap di kosan Nisa.
Pagi itu, aku buka socmed biru. Masuklah pesan berisi berita duka dari sahabatku saat sekolah dasar. Butiran air bening itu pecah di luar bola mataku. Jari ini menari dengan lincahnya di atas keyword Nokia X-2. Mom, send.

Mom Calling…

Tak kuasa menahan tangis, cepat-cepat ku buka balutan kain ibadah yang sejak subuh ku kenakan. Dalam isak, ku siap-siap untuk pergi ke Sukabumi, pagi itu juga. Nisa sengaja tak ku bangunkan. Hingga akhirnya ia terbangun sendiri karena suaraku isakku.

Tak ku hiraukan isak yang menemaniku ke pangdam depan kampus. Sepanjang jalan air bening itu mengalir, tak ku pedulikan penumpang lain. Memori ini memproses ingatan ke beberapa hari yang lalu, beberapa minggu yang lalu, beberapa bulan yang lalu, dua tahun yang lalu.

Kemacetan Padalarang memang selalu tak bersahabat. Sekitar pukul 09.00 WIB mama  menelepon. Ia mengabarkan bahwa jenazah adikku sebaiknya dimakamkan segera. Tak baik berlama-lama didiamkan di rumah. Baiklah.

Sekitar pukul 11.00 WIB aku tiba di rumah. Sahabatku, Rani, menjemput di terminal. Bendera kuning itu berkibar di depan gang rumah. Isak ini tak kuasa untuk ku tahan lagi.

Selamat tinggal Muhammad Nadliffansyah Putra….



Harapan orang tuaku terhadap kesuksesan Alif terbagi dua. Massa di pundak ini bertambah, . tanggung jawab, ku leburkan dengan semangat.




 Album Foto MNP


3 komentar:

  1. Aku teringat lagi masa itu. Tanpa dusta, aku yang hanya membaca rangkaian kata yang kau tulis saja tak mampu membendung air mata seakan merasa berada di posisimu. Kau sungguh tegar, luar biasa. Bersyukurlah karena Dia memberikan kekuatan luar biasa padamu.

    BalasHapus