Kamis, 30 Mei 2013

Perjuangan Putra Nababan


Putra NababanFoto: Ahmad Fadilah

Putra melanjutkan sekolah ke Amerika sendirian. Berkat kesungguhannya. Putra bisa menyelesaikan SMA dalam waktu setahun saja di sana. Lulus kuliah, putra mewujudkan cita-citany menjadi seorang wartawan seperti Papa. Lalu, bagaimana dengan kisah cintanya?
Memasuki usia remaja, kebandelanku semakin bertambah. Akibatnya, lulus SMP aku dipindah “paksa” untuk sekolah di Amerika Serikat. Mama sampai harus menguras tabungannya demi mengirimku ke luar negeri. Pesan Papa saat aku ke Amerika, “Pilihannya hanya ada dua, hancur atau sukses sekalian. To be or not to be .”
Setiba di Amerika tahun 1988, aku tinggal di kota terpencil, Sioux City, Iowa, ikut program pertukaran pelajar. Aku pun tinggal bersama orang tua angkat. Oleh karena tidak pernah belajar, bahasa Inggrisku kacau banget.
Awalnya, sih, senang bisa berkumpul bersama 30 orang teman lainnya, tapi setelah itu kami berpisah. Sedih juga, apalagi kota yang aku huni kecil sekali, hanya ada 80 ribu penduduk. Untungnya Mama memilih keluarga yang sangat agamis. Jadi, aku lumayan betah.
Meski baru berusia 14 tahun, di sana aku harus mandiri. Meski begitu, aku sempat mengalami culture shock karena melihat perbedaan budaya yang jauh sekali dengan di Indonesia. Mereka memanggil nama orang tua dengan nama, meski bukan berarti tak menghormati orang tuanya. Namun, bagiku itu sangat mengejutkan.

putra nababan
Penghargaan Panasonic Gobel ini merupakan penghargaan untuk bersama. Aku hanya dititipkan saja (Foto: Repro, Ahmad Fadilah)
Jadi Satpam
Selama di Amerika, aku sekolah dan belajar sungguh-sungguh, bahkan 6 bulan pertama berhasil dapat sertifikat cum laudekarena nilainya bagus semua. Namun kesedihan hinggap ketika aku sadar, orang tuaku tak ada di sana untuk melihat semua keberhasilanku.
Tapi aku senang, karena saat kelulusan SMA mereka datang. Pengorbanan dan kepercayaan Papa dan Mama pun tidak kusia-siakan. Aku bisa menyelesaikan SMA dalam setahun saja. Hebat, bukan?
Di usia 16 tahun, aku meneruskan kuliah di Midland Lutheran College, Fremont, Nebraska. Bahkan di usia 19 tahun kuliahku sudah selesai. Aku mengambil jurusan jurnalistik. Kenapa jurnalistik? Jawabannya, karena Papa. Tentu saja selama ini aku melihat sosok Papa, bagaimana ia bisa mengerti semua hal di dunia ini. Papa paham sepak bola, Piala Thomas, politik, sosial, sampai nama-nama presiden. Makanya, aku ingin jadi wartawan.
Selama di Amerika, untuk menambah uang saku, aku sempat kerja sebagai satpam. Sebenarnya, ada beberapa pekerjaan yang bisa diambil, seperti menjadi cleaning service , asisten dosen atau profesor, dan satpam kampus. Nah, gaji yang paling besar ya jadi satpam, karena di sana satpam dianggap pemimpin kampus dan jadi panutan.
Dari hasil kerja itu aku bisa menambah uang saku. Apalagi di saat musim panas, bisa dapat US $ 1.000. Lumayan buat beli tiket pulang ke Jakarta. Meski saat itu dollar AS masih Rp 2 ribu.
Usai lulus kuliah, aku memutuskan akan bekerja di Amerika, di salah satu koran di kota kecil. Belum sempat terwujud, Papa memintaku untuk pulang. “Soeharto mau ‘jatuh’, nih, kamu harus pulang. Kalau mau jadi wartawan, kamu harus ada di Indonesia.” Akhirnya, tahun 2004 aku pulang ke Jakarta. Eh, tak tahunya Soeharto enggak jatuh-jatuh. Ha ha ha.

Putra dan Hillary Clinton
Bersama Hillary Clinton. "Aku sangat menyukai dunia jurnalistik." (Foto:Repro, Ahmad Fadilah)
Nama Besar Papa
Akhirnya aku mulai bekerja di beberapa media seperti Majalah Forum Keadilan, Koran Merdeka yang berubah jadi Rakyat Merdeka, Metro TV, dan kini RCTI sejak 6 tahun lalu. Tak terasa ya, aku sudah 16 tahun jadi wartawan. Banyak sekali suka dan duka saat meliput.
Aku ingat banget, liputan pertamaku dan paling berkesan adalah saat diminta ke luar kota meliput acara haul Bung Karno. Saking paniknya, aku sampai enggak dapat penginapan. Untung ada wartawan senior memberi tempat tinggal. Tapi, aku jadi bangga karena kantor tempatku bekerja memberikan apresiasi pada hasil karyaku.
Di saat meliput, aku selalu ngotot untuk mengejar narasumber. Pantang bagiku pulang kantor jika belum mendapat apa yang kucari. Aku bisa berjam-jam menunggui menteri atau mengejar narasumber hingga dini hari. Pokoknya tak ada urusan dengan yang namanya capai atau lelah. Aku juga pernah, lho, menunggu Menteri Oetojo Oesman hingga 12 jam karena dia tak mau keluar dari kediamannya.
Puas di media cetak, aku melebarkan sayap ke jurnalistik televisi. Seiring tren, dunia teve memang lebih bisa menjangkau masyarakat. Ketika memilih pindah ke RCTI, itu karena aku merasa jangkauan siarannya sampai ke pelosok desa dan merupakan teve swasta pertama yang paling besar. Artinya, karyaku banyak ditonton orang dan punya dampak besar. Kebetulan memang ada tawaran menarik, ya, sudah aku ambil saja.
Terus terang, bila harus berkunjung ke berbagai tempat, aku pasti ditanya “Anaknya Panda Nababan ya?” Pasti ada beban, karena banyak orang ingin aku sebaik Papa. Berkat nama besar Papa aku mendapat kemudahan, tapi juga kesulitan. Di zaman Orde Baru, sosok Papa tak begitu disukai, jadi aku enggak dimudahkan saat mau wawancara, misalnya dengan salah satu menteri. Tapi juga gampang karena teman Papa banyak.

Putra Bersama Keluarga
Kebahagiaanku bersama istri dan anak-anak."Kami biasa saling mengkritik, memberi masukan, dan berdialog." (Foto:Repro, Ahmad Fadilah)
Berkah Cacar Air
Bisa dibilang, bekerja menjadi wartawan adalah passion -ku. Makanya, tak heran jika setelah 9 tahun bekerja, aku baru memutuskan menikah. Aku sangat beruntung bertemu istriku, Mira Maria Melati Sirait (32) dan pacaran cukup lama, sampai 9,5 tahun. Kami sama-sama cocok dan mau belajar, punya semangat tinggi mengenal satu sama lain. Sempat juga pacaran jarak jauh karena selama 1,5 tahun dia kuliah di Inggris.
Resep langgengnya? Jangan bertemu setiap hari dan menghormati privasi masing-masing. Istri boleh main dengan teman-temannya, aku juga main dengan teman-temanku. Kami bertemu di hari Sabtu dan Minggu, nonton atau makan. Tak terasa, kami berpacaran sudah sangat lama.
Saat memutuskan untuk menikah memang tak mudah. Tapi aku mencintai dia, karena dia perhatian, loyal dan cerdas. Aku memilih pasangan yang bisa menambah sesuatu yang baik dalam diriku. Lucunya, aku melamar dia dalam kondisi yang sangat buruk, lho, ketika dia terkena cacar air. Terbukti, kan, betul-betul inner beauty yang kulihat. Ha ha ha.
Tapi perempuan mana, sih, yang mau dilamar dalam kondisi begitu? Syukurnya, lamaranku langsung diterima. Kami menikah 14 Februari 2004 dan memiliki dua anak, Aubriel Mutiara Aza Nababan (25 Mei 2005), Gabriel Indonesia Prinz Nababan (29 September 2008).
Dalam berumah tangga, kami saling memberi koreksi, masukan, berdialog, meski ada masanya sulit untuk ngobrol . Tapi, kalau bertengkar, enggak bisa lebih dari sehari. Soalnya, kalau bertengkar pasti pikiranku buyar, makanya enggak tahan lama-lama. Itu pula yang membuat istriku selalu bilang, kenapa aku enggak berubah. Habis marah lalu berbaikan, tapi kemudian lupa dan diulangi lagi. Ha ha ha.

Bukan Selebriti
Bila ingat siapa yang telah memberi rezeki, kita tak akan sombong. Makanya aku paling senang meliput ke luar negeri, karena tak ada yang kenal aku. Mereka suka tanya, “Who are you? ” Itu justru yang paling bagus. Tapi tak bisa dipungkiri, setelah mewawancarai Obama, memang banyak masyarakat yang memberi ucapan selamat dan memberi komentar. Bahkan saat ke Taman Safari, anak-anak kecil minta difoto bareng. Di bank pun aku diselamati orang-orang. Rata-rata mereka senang dengan hasil wawancaraku. Tapi, aku bukan selebiriti, aku tetap wartawan. Kalaupun aku bisa membahagiakan orang-orang dengan foto bareng, aku anggap itu bonus saja.
Aku akan tetap bekerja di RCTI. Meski begitu, kami tak menganggap teve lain menjadi saingan. Lebih baik bersama-sama mewujudkan Indonesia maju. Perang eksklusif boleh sesekali, tapi bukan segalanya. Yang utama adalah rakyat Indonesia. Marilah membuat berita yang bagus untuk rakyat Indonesia. TAMAT.
NOVERITA K. WALDAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar